Informasi Seputar Pajak Online, NPWP, PPH 21, Pajak Pribadi, Setoran Pajak, Kalkulator Pajak, Cara Membayar Pajak Perusahaan, Pajak Penghasilan dan Banyak Lagi Lainnya

√Keberatan dan Banding

Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak jika merasa tidak puas atau kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan / pemungutan oleh pihak ketiga. Saya yakin, sebagian besar Wajib Pajak melakukan proses keberatan karena surat ketetapan pajak (skp) yang dianggap tidak adil. Dan surat ketetapan pajak itu biasanya diterbitkan sebagai produk dari pemeriksaan pajak. Ya, keberatan umumnya didahului dengan proses pemeriksaan.

Seorang pemeriksa pajak tentu banyak berbeda pendapat dengan Wajib Pajak tentang perlakuan perpajakan atas suatu transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Jika dalam pembahasan dengan Wajib Pajak tidak menemukan titik temu, maka tidak jarang pemeriksa pajak mengeluarkan jurus “pokoknya”. Selama argumentasi pemeriksa pajak memiliki landasan yuridis, selaras dengan “akal sehat”, maka pendapat pemeriksa dapat dipertahankan dan hakim banding-lah yang menentukan benar tidaknya pendapat pemeriksa pajak.

Prosedur pemeriksaan sekarang dibuat lebih merepotkan pemeriksa pajak sekaligus lebih memperkuat produk pemeriksaan. Saat menemukan temuan, pemeriksa pajak dapat membicarakan hasil temuan tersebut dengan Wajib Pajak. Kemudian, temuan itu dituangkan secara formal dalam surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). Berdasarkan SPHP tersebut Wajib Pajak kemudian memberikan tanggapan SPHP. Berdasarkan tanggapan SPHP, pemeriksa pajak dengan media Surat Panggilan memanggil Wajib Pajak untuk mendiskusikan hasil pemeriksaan. Tetapi jika temuan sudah didiskusikan terlebih dahulu sebelum SPHP keluar, maka pembahasan hasil pemeriksaan bisa lebih singkat atau bisa jadi langsung ke penandatangani berita acara hasil pemeriksaan.

Bersama dengan tanggapan SPHP, Wajib Pajak dapat memberikan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk membantah pendapat pemeriksa. Setelah itu, pada saat panggilan pembahasan (setelah diterima Surat Panggilan), Wajib Pajak juga dapat melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan. Setelah itu, dokumen yang digunakan untuk membantah pendapat pemeriksa bisa tidak berguna sama sekali karena sejak jamannya pa Pung (Dirjen Pajak Hadi Purnomo), Direktorat Jenderal Pajak memiliki klausul “dokumen yang tidak digunakan pada saat pemeriksaan, tidak dapat digunakan pada saat keberatan dan banding”.

Klausul tersebut dibuat karena banyaknya “dokumen baru” yang muncul pada saat banding di Pengadilan Pajak (dulu masih BPSP), padahal pada saat pemeriksaan dokumen tersebut tidak menjadi pertimbangan Wajib Pajak. Bahkan banyak dokumen Wajib Pajak yang pada saat pemeriksaan diminta, bahkan dengan surat permintaan dokumen, dokumen yang diminta tidak “nongol”, tetapi pada saat banding tuh dokumen menjadi lengkap.

Pada kasus lain, banyak produk hasil pemeriksaan dibuat dengan “penetapan secara jabatan”. Ini adalah jurus terakhir dari pemeriksaan pajak karena tidak adanya dokumen yang dapat dijadikan dasar untuk menghitung besarnya pajak terutang. Penetapan secara jabatan adalah salah satu diskresi pemeriksaan pajak saat dokumen yang diminta tidak ada. Dulu, banyak kasus yang ditetapkan secara jabatan, Wajib Pajak keberatan, kemudian banding di Pengadilan Pajak, dan “sim salabim” dokumen yang dulu pernah diminta oleh pemeriksa pajak, pada waktu pemeriksaan di banding, dokumen menjadi lengkap! Ini kenyataan.


TIM PEMBAHAS
Sejak awal tahun 2007, proses pemeriksaan ditekankan pada adanya Tim Pembahas. Tim ini bisa berada di tingkat KPP Pratama atau Madya atau di Kanwil. Tim ini diposisikan sebagai Tim yang independen untuk menguji pendapat pemeriksa pajak.

Wajib Pajak yang masih belum puas pada saat pembahasan hasil pemeriksaan, “sesaat” setelah berita acara hasil pemeriksaan dapat mengajukan pembahasan di Tim Pembahas UP3. Permintaan Wajib Pajak itu disertai dengan uraian ketidakcocokan antara pendapat pemeriksa pajak dan pendapat Wajib Pajak. Tim Pembahas UP3 (Karikpa atau KPP) kemudian membahas permintaan tersebut dan dituangkan dalam dokumen yang bernama Risalah Tim Pembahas UP3.

Jika hasil pembahasan Tim Pembahas UP3 masih belum memuaskan bagi Wajib Pajak maka masih ada kesempatan terakhir sebelum menjadi skp, yaitu permintaan Wajib Pajak untuk pembahasan oleh Tim Pembahas Kanwil. Permintaan tersebut mengharuskan Wajib Pajak menguraikan perbedaan pendapat antara pendapat Wajib Pajak, pendapat pemeriksa pajak, dan pendapat Tim Pembahas UP3. Masing-masing pokok masalah harus diurai dari masing-masing pihak.

Pembahasan Tim Pembahas Kanwil kemudian dituangkan dalam Risalah Tim Pembahas Kanwil. Setelah ada dokumen tersebut, tertutup kesempatan Wajib Pajak untuk menyanggah hasil pemeriksaan. Dan hasil pemeriksaan kemudian akan dituangkan dalam surat ketetapan pajak (skp).

Pada prakteknya, bisa jadi Tim Pembahas membenarkan pendapat Wajib Pajak. Hal ini tergantung argumentasi dan kelengkapan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan pada saat pembahasan sebelumnya. Jika ini terjadi maka pendapat pemeriksa tentu tidak dapat dipakai dan tidak akan diteruskan menjadi surat ketetapan pajak. Tetapi bisa juga Tim Pembahas UP3 dan Tim Pembahas Kanwil membenarkan pendapat pemeriksa pajak. Jika ini yang terjadi, Wajib Pajak masih memiliki dua kesempatan, yaitu proses keberatan dan banding. Tetapi harus diingat, proses keberatan dan banding tidak menunda proses penagihan!

Berdasarkan dokumen Risalah Tim Pembahas, pemeriksa pajak kemudian membuat nota penghitungan pajak sebagai dasar pembuatan surat ketetapan pajak. Nota penghitungan pajak dibuat paling lama sebulan sejak tanggal SPHP. Jadi, proses permintaan dan pembahasan Tim Pembahas baik Tim Pembahas UP3 maupun Tim Pembahas Kanwil, waktunya kurang dari satu bulan.

Jika dibagi-bagi, alokasi waktu sejak tanggal SPHP diterima Wajib Pajak adalah sebagai berikut: seminggu sejak diterima SPHP, pengumpulan dokumen tambahan dan penyusunan surat sanggahan SPHP. Seminggu kemudian pembahasan SPHP antara pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak. Seminggu kemudian, permintaan pembahasan dan pembahasan oleh Tim Pembahas UP3. Seminggu kemudian, permintaan pembahasan dan pembahasan oleh Tim Pembahas Kanwil. Oh, ya, Wajib Pajak tidak dilibatkan pada saat pembahasan oleh Tim Pembahas. Tetapi Wajib Pajak dapat meminta salinan dokumen Risalah Tim Pembahas ke pemeriksa pajak.

Inilah prosedur pemeriksaan yang saya maksud merepotkan pemeriksa pajak tetapi sekaligus memperkuat produk pemeriksaan. Dengan adanya Tim Pembahas, maka ada pendapat yang dianggap independen yang menilai pendapat pemeriksa pajak. Jika hasil Tim Pembahas sama dengan pendapat pemeriksa pajak maka pada saat keberatan dan banding pemeriksa lebih kuat.


KEBERATAN
Menurut Pasal 25 ayat (1) UU KUP, keberatan dapat diajukan atas :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Bagaimana dengan STP atau surat tagihan pajak, apakah bisa keberatan? Banyak Wajib Pajak yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh petugas pajak dengan STP yang menurut Wajib Pajak tidak adil. Tetapi, sampai dengan tahun 2007, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan keberatan atas STP karena UU KUP tidak menyebutkan STP sebagai objek keberatan. Artinya, Wajib Pajak hanya bisa membayar STP yang telah diterbitkan oleh petugas pajak!

Bagaimana membuat surat keberatan?
a. Satu Keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak;
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. Wajib menyatakan alasan-alasan secara jelas;
d. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak.

Satu surat untuk satu skp. Jika hasil pemeriksaan ada lima skp, misalnya : SKPKB PPh Badan, SKPKB PPh Pasal 21, SKPKB PPh Pasal 23, SKPKB PPh Pasal 4(2), dan SKPKB PPN, maka surat keberatan harus dibuat lima buah. Tidak boleh satu surat untuk keberatan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, misalnya.

Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal. Ini perintah UU KUP! Tetapi UU KUP juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Silakan pembaca menterjemahkan sendiri klausul “keadaan diluar kekuasaannya”.

Di kantor modern, keputusan keberatan dilakukan oleh kanwil dan diteliti oleh pejabat penelaah keberatan. Ini adalah profesi baru di DJP sendiri. Pejabat penelaah keberatan hanya ada di kanwil, sama halnya seperti AR yang hanya ada di KPP. Walaupun demikian, surat keberatan tetap dilayangkan ke KPP, bukan ke kanwil. Nanti KPP yang akan meneruskan surat keberatan ke kanwil.

Sebelum ditetapkan hasil pemeriksaan, biasanya pada proses keberatan pemeriksa pajak juga masih dimintai jawaban keberatan dan salinan kertas kerja pemeriksaan. Artinya, penelaah keberatan nanti akan membanding-bandingkan pendapat Wajib Pajak dan pendapat pemeriksa pajak. Walaupun penelaah keberatan merupakan pegawai DJP, tetapi sebenarnya penelaah keberatan berposisi sebagai hakim yang memutuskan antara posisi Wajib Pajak dan posisi pemeriksa pajak.


BANDING
Dua belas bulan sejak surat keberatan diterima oleh KPP, maka kantor pajak harus mengeluarkan Surat Keputusan Keberatan (SK Keberatan). Jangka waktu 12 bulan tersebut ditetapkan oleh Pasal 26 ayat (1) UU KUP. Karena itu, jangka waktu 12 bulan adalah jangka waktu paling lama. Sebelum 12 bulan, bisa jadi SK Keberatan keluar.

SK Keberatan tidak dapat menjadi Wajib Pajak puas. Masih ada satu kesempatan lagi bagi Wajib Pajak untuk menguji pendapatnya, yaitu melalui proses banding ke Pengadilan Pajak. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” Ini lembaga yang tidak memiliki hirarki dengan DJP. Lebih independen dan insya allah hakim yang memutuskannya lebih kredibel daripada pejabat penelaah keberatan di kanwil.

Tata cara pengajuan banding sebagai berikut:
- Surat banding ditulis dalam bahasa Indonesia;
- Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan yang dibanding diterima;
- Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding;
- Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
- Dilampiri salinan Surat Keputusan yang dibanding;
- Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.

Dalam sejarah banding, jika dibuatkan prosentase Putusan Banding, maka sebagian besar Putusan Banding berpihak ke Wajib Pajak. Berdasarkan penelitian DJP sendiri, keputusan banding yang membatalkan surat ketetapan pajak dikarenakan lemahnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Artinya, banyak pemeriksaan pajak yang melakukan pemeriksaan tanpa dasar yuridis dan argumentasi yang kuat. Inilah kesempatan Wajib Pajak, walaupun untuk mencapai banding ini harus melalui jalan yang berliku :-).

Selamat menempuh banding.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : √Keberatan dan Banding

0 comments:

Posting Komentar