Pak Darussalam dan Pak Danny tanggal 26 Februari menulis tentang Surat Kuasa di perpajakan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 22 tahun 2008. Bahkan sebuah artikel pada awal Maret 2008 di www.bisnis.com memperingatkan bahwa para manajer perpajakan di perusahaan besar supaya siap-siap angkat koper.
Sebenarnya siapa kuasa Wajib Pajak?
Kuasa Wajib Pajak bermula dari Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2008 [UU No. 28 Tahun 2008]. Berikut bunyi lengkapnya :
(3)Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Nah, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 32 ayat (3a)UU KUP, Menteri Keuangan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 yang diterbitkan tanggal 6 Februari 2008 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa.
Dan di Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 ada ketentuan yang menjadi "belenggu" bagi pegawai Wajib Pajak [termasuk para manajer atau supervisor perpajakan di perusahaan besar]. Inilah ketentuan yang dimaksud, Pasal 4 ayat (1)
Seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya dapat menerima kuasa dari:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun; atau
c. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 2.400.000.000,00 (dua miliar empat ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun.
Perhatikan kata-kata "termasuk karyawan WP". Staf, Supervisor, Manajer, Direktur atau Spesialis Perpajakan yang bekerja di perusahaan besar dengan omset diatas Rp.2,4 milyar tentu tidak akan bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Para karyawan Wajib Pajak [apapun jabatannya] hanya bisa menerima kuasa jika perusahaan tersebut beromset dibawah itu. Dengan kata lain, perusahaan besar hanya bisa memberi surat kuasa ke konsultan pajak.
Apalagi ditambah dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 berikut :
Setiap Pegawai dilarang menindaklanjuti pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang memberikan kuasa kepada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Tentu yang dimaksud "setiap pegawai" di pasal ini adalah setiap pegawai kantor pajak, apapun jabatannya. Karyawan Wajib Pajak yang tidak memenuni persyaratan Pasal 4 tentu tidak bisa menerima surat kuasa sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (2).
Inilah tafsiran yang diperdebatkan.
Beruntung, Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008 memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk mengatur lebih lanjut tentang kuasa Wajib Pajak. Hanya saja kewenangan di Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengharuskan Dirjen Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dan sampai saat ini, saya belum membaca PerDirjen dimaksud. Tetapi pada tanggal 10 Maret 2008, Dirjen Pajak justru menerbitkan Surat Edaran No. 16/PJ/2008. Jika mau membaca lebih lanjut silakan diunduh disini.
Kesimpulan dari Surat Edaran tersebut menyebutkan :
... dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali serta karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan perusahaan dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.
Dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak, dapat ditandatangani oleh pejabat/karyawan yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.
Penyerahan dokumen yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu, tidak memerlukan surat kuasa khusus atau surat penunjukan.
Perhatikan kata-kata "karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan ... tanpa memerlukan surat kuasa khusus". Artinya, sejak dikeluarkan Surat Edaran ini para karyawan Wajib Pajak "yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan" [apapun jabatannya] bisa mewakili Wajib Pajak di kantor pajak untuk urusan perpajakan dan tidak perlu ada Surat Kuasa.
Apakah Surat Edaran ini melangkahi Peraturan Menteri Keuangan? Mungkin ya, terutama karena saya menduga bahwa Surat Edaran ini keluar sebelum terbit PerDirjen. Tetapi [setelah saya pikir-pikir] kuncinya ada di kata-kata "yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan". Jika karyawan Wajib Pajak yang tidak memiliki kewenangan mengurus perpajakan di kantor pajak [terutama masalah pemeriksaan dan keberatan] maka karyawan tersebut tetap harus dibekali Surat Kuasa sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2008.
Cag ah!
0 comments:
Posting Komentar