Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Begitulah definisi Faktur Pajak menurut UU PPN 1984. Di "dunia" pemeriksaan pajak, ada istilah Faktur Pajak yang tidak ditemukan di UU PPN 1984 yaitu : Faktur Pajak palsu, Faktur Pajak fiktif, atau Faktur Pajak bermasalah. Tetapi di Pasal 39A UU KUP disebutkan :
Setiap orang yang dengan sengaja:a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; ataub. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajakdipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Karena itu, sekarang DJP sering menggunakan istilah Faktur Pajak bermasalah. Hal ini berkaitan dengan pengertian hukum. Disebut Faktur Pajak palsu, katanya harus ada yang asli. Disebut Faktur Pajak fiktif, padahal jelas-jelas ada (tidak fiktif). Jika disebut Faktur Pajak bermasalah maka sesuai maksud Pasal 39A diatas adalah Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya. Tapi saya tetap menggunakan istilah awam, yaitu Faktur Pajak palsu.
Seharusnya Faktur Pajak diterbitkan oleh penjual sebagai bukti pemungutan PPN. Untuk membuktikan adanya penjualan tersebut tentu harus ada :
[a.] dokumen-dokumen yang menunjukkan penjualan;
[b.] barang atau jasa yang diserahkan;
[c.] uang untuk pembayaran barang atau jasa.
Sebenarnya banyak modus dalam Faktur Pajak bermasalah. Tetapi yang paling gampang adalah dengan "memalsukan" Faktur Pajak. Disebut memalsukan karena pembuat Faktur Pajak sebenarnya tidak menjual apa-apa kecuali Faktur Pajak itu sendiri. Misalnya satu lembar Faktur Pajak dijual 5%. Artinya, jika Faktur Pajak tersebut PPN-nya senilai Rp.500.000.000,- maka dia menjual selembar Faktur Pajak tersebut Rp.25.000.000,- Bayangkan jika total Faktur Pajak yang dia buat puluhan milyar rupiah!
Seperti hukum ekonomi, ada penawaran karena ada permintaan. Faktur Pajak palsu dibuat karena memang ada yang membutuhkan. Siapa mereka? Sebenarnya semua Wajib Pajak yang memiliki niat tidak baik membutuhkan Faktur Pajak palsu. Tetapi biar lebih gampang, kita persempit bahwa permintaan Faktur Pajak palsu itu adalah para pedagang impor selundupan!
Kenapa penyelundup membutuhkan Faktur Pajak palsu? Kemungkinannya :
[a.] mengurangi setoran PPN ke bank persepsi; atau
[b.] mengambil uang dari kas negara.
Supaya lebih jelas kita gunakan angka-angka contoh:
Mr. Raju adalah seorang pedagang kain Pasar Tanah Abang. Kain yang dia jual adalah kain impor dari India. Supaya harga beli murah, maka kain dia selundupkan. Artinya dia tidak membayar bea masuk, PPh Pasal 22 impor, dan PPN impor. Untuk PPh dan PPN saja Mr. Raju harus bayar 12,5% jika menggunakan jalur resmi, yaitu 2,5% untuk PPh Pasal 22 Impor ditambah 10% untuk PPN Impor. Artinya, dengan menyelundupkan kain, Mr. Raju menghemat pembelian 12,5%!
Walaupun kain yang dia jual merupakan kain selundupan, tetapi Mr. Raju menjual kain secara terbuka. Sama dengan pedagang lain. Hanya saja ada konsekuensinya, yaitu dia harus memungut PPN atas setiap kain yang dia jual sebesar 10%. Setiap bulan dia wajib membuat dan melaporkan SPT Masa PPN. Misalkan penjualan satu bulan sebesar Rp.770.000.000,- maka PPN yang dia pungut dari pembeli sebesar Rp.70.000.000,- PPN ini disebut Pajak Keluaran atau PK.
Karena pada saat membeli kain Mr. Raju tidak membayar PPN, maka Pajak Masukan atau PM-nya nihil. Dengan kata lain, Mr. Raju belum pernah bayar PPN. Dengan kondisi seperti itu, maka Mr. Raju harus setor ke bank persepsi sebesar Rp.70.000.000,-
Untuk memperkecil PPN yang harus dibayar ke bank persepsi tersebut, Mr. Raju kemudian membeli Faktur Pajak palsu. Katakanlah senilai Rp.60.000.000,- tetapi dia cukup bayar ke pembuat Faktur Pajak palsu sebesar Rp.3.000.000,- sajah. Faktur Pajak palsu ini disebut Pajak Masukan. Di SPT Masa PPN kemudian diperhitungkan atau dikreditkan. Dengan Faktur Pajak palsu tersebut, Mr. Raju cukup bayar ke bank persepsi sebesar :
Rp.70.000.000,- dikurangi Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,- sajah!
Total jenderal, dia menghemat Rp.57.000.000,- yaitu yang seharusnya bayar Rp.70 juta tapi dia cukup bayar ke pembuat Faktur Pajak palsu Rp. 3 juta ditambah bayar ke bank persepsi Rp. 10 juta.
Kata "menghemat" sengaja saya kasih warna merah karena karena sebenarnya Mr. Raju bukan menghemat tapi mengambil pajak yang merupakan hak negara! Memang jika dilihat dari segi dagang, cost-nya jadi lebih kecil. Tetapi yang sebenarnya adalah dia mengambil PPN dari pembeli (atau seharusnya mengambil) tetapi PPN tersebut tidak disetor ke bank persepsi.
Prakteknya, Faktur Pajak palsu banyak variasi dan lika-likunya baik dari segi modus maupun jumlah nominal PPN. Karena itu tidak semua Faktur Pajak bermasalah bisa dideteksi oleh pemeriksa pajak. Tidak semua SPT Masa PPN diperiksa. Bahkan untuk SPT seperti contoh diatas, SPT kurang bayar namanya, menjadi prioritas terakhir untuk diperiksa. Sehingga kemungkinan besar tidak diperiksa.
Bahkan bisa jadi Mr. Raju tergoda untuk melakukan restitusi PPN. Jika total Faktur Pajak palsu yang dia beli nominalnya lebih besar dari Pajak Keluaran maka Mr. Raju bisa meminta restitusi. Memang setiap permintaan restitusi akan dilakukan pemeriksaan. Ini prioritas utama bagi pemeriksa pajak. Walaupun begitu sangat mungkin banyak Faktur Pajak bermasalah seperti diatas lolos dari pemeriksaan pajak.
DJP memang tidak tinggal diam. Sudah banyak yang disidik dan dihukum dengan vonis penjara oleh pengadilan. Tetapi biasanya penjahat selalu berusaha lebih maju dalam perbuatan jahatnya.
Jadi ........ siapa yang nakal????
0 comments:
Posting Komentar