Apakah setiap Wajib Pajak membayar pajak langsung disetor ke bank persepsi? Tidak! Administrasi perpajakan, khususnya pajak pusat seperti Pajak Penghasilan [PPh] dan Pajak Pertambahan Nilai [PPN] "mendelegasikan kewenangan" kepada Wajib Pajak tertentu untuk mengambil pajak Wajib Pajak lain. Kata "mendelegasikan kewenangan" sengaja diberi tanda kutip untuk menekankan bahwa ada kewajiban yang dibebankan oleh undang-undang perpajakan untuk memungut pajak.
Sebenarnya ada dua istilah di PPh yaitu pemotong dan pemungut. Istilah pemotongan digunakan untuk PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Sedangkan pemungutan digunakan untuk PPh Pasal 22. Selain itu pemungutan juga digunakan oleh PPN.
Apa sih perbedaan pemungutan dan pemotongan? Sebagian orang yang bilang bahwa pemotongan itu pajak yang diambil dari penghasilan neto. PPh Pasal 21 contohnya, tarif PPh yang digunakan dari penghasilan bersih. PPh Pasal 23 ada yang cocok dengan pengertian ini ada yang tidak. Begitu juga dengan PPh Pasal 26, taxbase-nya ada yang jumlah bruto tapi ada yang dari perkiraan penghasilan neto.
Sedangkan pemungutan sebagian orang bilang bahwa pemungut mengambil pajak dari penghasilan bruto. Selain itu, pemungutan mengambil pajak dari pada saat pembelian. Pembelian tentu belum tentu menghasilkan penghasilan. Ada kalanya barang dagangan tidak laku dan jadi biaya. Pengertian ini tepat untuk PPh Pasal 22 dan PPN.
Walaupun begitu, saya tidak pernah mempermasalahkan pemungutan atau pemotongan. Keduanya sama-sama mengambil pajak orang lain. Majikan mengambil pajak karyawan, klien mengambil pajak pemberi jasa, begitu juga penjual mengambil PPN pembeli. Bahkan dalam bahasa Inggris hanya dikenal satu istilah yaitu withholding tax.
Bukti bahwa kita telah dipotong pajak adalah Bukti Potong untuk PPh. Bukti bahwa kita telah dipungut adalah SSP untuk PPh Pasal 22 dan faktur pajak untuk PPN. Baik bukti potong maupun faktur pajak merupakan bukti bahwa kita telah membayar pajak. Karena itu bukti potong dan faktur pajak bisa dikreditkan.
Dikreditkan maksudnya memperhitungkan pajak yang telah dibayar. Contoh 1, pada akhir tahun perhitungan di SPT PPh OP kita menunjukkan bahwa PPh terutang kita Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). Sebagai pengusaha jasa, setiap kali memperoleh penghasilan kita dipotong PPh Pasal 23 dan kita diberi Bukti Potong oleh klien. Pada akhir tahun Bukti Potong tersebut dikumpulkan dan dijumlahkan. Katakan pada akhir tahun terkumpul sejumlah Rp.900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah). Maka kita pada akhir tahun hanya menyetor ke bank persepsi sebesar Rp.100.000,- sajah!
Contoh 2, setiap kali kita beli barang dagangan, kita telah dipungut PPN. Bukti pungut PPN adalah faktur pajak lembar 1. Faktur Pajak dibuat oleh penjual. Karena itu, saat kita menjual barang, kita juga menerbitkan Faktur Pajak. Sebagai penjual, kita menyimpan Faktur Pajak lembar 2. Untuk memudahkan contoh, kumpulan Faktur Pajak lembar 2 [faktur pajak yang kita bikin] disebut Pajak Keluaran atau PK. Sedangkan kumpulan Faktur Pajak lembar 1 disebut Pajak Masukan atau PM.
Setiap bulan atau masa pajak, pengusaha kemudian menghitung berapa PPN yang harus disetor ke bank persepsi. Caranya : PK dikurangi PM.
[] Jika PK lebih besar maka kita bayar kelebihan PK ke bank persepsi;
[] Jika PK = PM maka tidak ada yang harus dibayar ke bank persepsi;
[] Jika PK lebih kecil dari PM maka kelebihan PM bisa kita kompensasi dan pada akhir tahun bisa dimintakan restitusi.
Sekarang jelaskan pentingnya Bukti Potong dan Faktur Pajak?
0 comments:
Posting Komentar