Bagi pehobi film, menonton satu judul film tidak cukup sekali. Bahkan bukan hanya berkali-kali menonton, tetapi perlu mengoleksi kepingan VCD atau DVD. Atau mungkin dengan mengunduh film tersebut dari situs internet. Posting kali ini membicarakan dampak perpajakan dari pembelian film tersebut.
Memiliki film tersebut maksudnya memiliki untuk ditonton sendiri atau keluarga dan tidak diperjualbelikan. Tidak digandakan kemudian dijual. Tidak juga untuk disewakan. Awalnya seperti itu walaupun kemudian dapat saja disewakan tetapi mungkin akan berdampak pada hal milik dan terkait royalti dari film tersebut. Artinya jika dikomersialkan, maka akan ada dampak hukum lainnya.
Untuk mendapatkan film, maka kita dapat:
[1.] membeli kepingan media rekaman seperti : DVD atau VCD
[2.] membeli dengan mengunduh dari situs internet.
Kedua kegiatan tersebut, jika penjual berada di Luar Negeri maka bisa dikategorikan mengimpor.
Menurut UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Menurut UU PPN 1984 [amandemen 2009], impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean. Sedangkan daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang berlaku UU Kepabeanan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 mengatur bahwa atas impor film terutang PPN dengan DPP Rp. 12.000.000,00. Dan penyerahan kepada pengusaha bioskop terutang PPN dengan DPP Rp. 12.000.000, 00. Bunyi lengkapnya seperti ini:
Berdasarkan aturan tersebut, maka saat kita beli DVD dari luar negeri, petugas Bea Cukai di Bandara mungkin akan menagih pembayaran PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011. Kita harus bayar Rp.1.200.000,00 untuk setiap keping DVD. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 tidak jelas mengatur siapa yang melakukan impor. Apakah setiap kegiatan impor dikenakan PPN berdasarkan pasal tersebut? Hanya disebut pada saat impor Film Cerita Impor! DPP-nya ditetapkan Rp.12.000.000,00 sehingga PPN per copy Film Cerita Impor pada saat impor menjadi Rp.1.200.000,00Pasal 2(1) Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean berupa Film Cerita Impor, terutang Pajak Pertambahan Nilai.(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipungut pada saat impor media Film Cerita Impor.(3) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Nilai Lain.(4) Nilai Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah memperhitungkan nilai dari media Film Cerita Impor.(5) Nilai Lain yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor.Pasal 3(1) Atas penyerahan Film Cerita Impor oleh Importir kepada Pengusaha Bioskop, terutang Pajak Pertambahan Nilai.(2) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Nilai Lain.(3) Nilai Lain yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor.(4) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut hanya sekali untuk setiap copy Film Cerita Impor, yang pemungutannya dilakukan pada saat pertama kali copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan kepada Pengusaha Bioskop.
Saya pikir, karena ketidakjelasan aturan ini menjadi setiap impor DVD pun terutang PPN sebesar Rp.1.200.000,00 setiap keping-nya. Padahal aturan ini lahir karena Asosiasi Perfilman Amerika Serikat (Motion Picture Association) melakukan boikot menayangkan film di bioskop Indonesia karena royalti atas impor film dianggap terlalu tinggi. Sehingga PPN atas film pun menjadi tinggi pula karena penghitungan royalti yang tinggi. Akhirnya, oleh pemerintah DPP PPN-nya di-deem menjadi hanya Rp.12.000.000,00 per copy film cerita. Tentu ini tidak masuk akal jika dibandingkan harga DVD itu sendiri!
Satu-satunya "celah" menghindari pengenaan Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 adalah definisi dari importir yang diatur di Pasal 1 angka 7.
Importir adalah pelaku usaha perfilman yang melakukan usaha impor film dan/atau pengedaran filmTetapi definisi ini bertentangan dengan definisi UU. Artinya, jika kita beli DVD dari Amerika Serikat maka menurut pengertian UU Kepabeanan dan UU PPN 1984 disebut importir. Tetapi menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 bukan disebut importir.
Menurut saya, akan lebih jelas jika Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 menjadi:
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipungut pada saat impor oleh importir pelaku usaha perfilman yang melakukan usaha impor film dan/atau pengedaran film.Selain itu, di defini "Film Cerita Impor" juga tidak jelas menunjuk pelaku pengusaha (bukan konsumen).
6. Film Cerita Impor adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang mengisahkan cerita fiktif atau narasi dan dapat dipertunjukkan yang direkam pada pita seluloid, pita video, cakram optik,atau bahan lainnya yang berasal dari luar Daerah Pabean untuk dieksploitasi di dalam negeri.Apa maksud eksploitasi? Apakah ditonton termasuk eksploitasi? Jika mengacu ke pengertian di wikipedia maka menjadi tidak tepat. Tetapi jika mengacu ke Kamus Bahasa Indonesia Online maka bisa diartikan sebagai "digunakan untuk usaha". Jika yang digunakan pengertian yang terakhir maka impor DVD seperti kasus diatas menjadi tidak terutang PPN karena tidak termasuk pengertian Film Cerita Impor. DVD yang kita impor bukan Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud di Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011.
0 comments:
Posting Komentar