Seringkali memahami peraturan lebih jelas jika langsung ke contoh. Apalagi jika kita belum tahu latar belakang dari peraturan tersebut. Maka contoh-contoh kasus lebih pas kita baca. Di Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 107/PMK.011/2013 terdapat beberapa contoh penghitungan PPh. Mana bagian penghasilan yang harus dihitung dengan PP 46/2013 dan mana yang harus dihitung sesuai ketentuan umum UU PPh. Berikut saya copas contoh-contoh dimaksud:
CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARA BRUTO TERTENTU
CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARA BRUTO TERTENTU
CONTOH #1
Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku cadangnya, Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut rnemiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto bengkel A Rp100.000.000,00
Peredaran bruto bengkel B Rp150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Karena total peredaran bruto selama tahun 2013. kurang dari Rp4.800.000.000,00 (ernpat miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha yang diterirna oleh Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat mernperoleh peredaran bruto dari bengkel A sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebeear Rp15,000.000,00 (lima belas juta.rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 [karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar :
a. Bengkel A
PPh terutang:
1% x Rp10.000.000,00 = Rp100.000,00
PPh terutang:
1% x Rp10.000.000,00 = Rp100.000,00
(dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh terutang:
1% x Rp15.000.000,00 = Rp150.000,00
PPh terutang:
1% x Rp15.000.000,00 = Rp150.000,00
(dilaporkan ke KPP Y)
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira Ekspedisi melakukan perawatan dan reparasi 5 (lima) motor rnilik perusahaan tersebut di bengkel A milik Agus Hidayat, Tagihan yang dibuat kepada PT Amira Ekspediai atas jasa perawatan dan reparasi tersebut adalah sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% x Rpl.500.000,00 = Rp30.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran tagihan tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT Amira Ekspedisi.
CONTOH #2
Irine menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian di kota Batam dan di Singapura. lrine telah terdaftar sebagai WajibPajak sejak tahun 2009 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing butik tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran brute butik di Batam Rp.3.000.000.000,00
Peredaran bruto butik di Singapura Rp.5.000.000.000,00
Peredaran bruto butik di Singapura Rp.5.000.000.000,00
Dari peredaran bruto butik di Batam sebeser Rp3.000.000.000,00 salah satunya merupakan hasil penjualan sebesar Rp50.000.000,00 kepada Mr. x seorang pengusaha dari Singapura.
Selain dari penghasilan usaha butik, Irine juga memperoleh penghasilan dari sewa apartemen di Singapura sebesar Rp100.000.000,00
Peredaran Bruto yang dijadikan dasar pengenaan PPh yang bersifat final adalah jurnlah peredaran bruto butik di Batam saja, yakni sebesar Rp3.000.000.000,00. Penghasilan yang diterima Irine dari sewa aparternen dan butik di Singapura, tidak diperhitungkan dalam menghitung batasan peredaran bruto untuk dapat dikenai PPh bersifat final.
CONTOH #3
Hari Nugroho yang berstatus kawin dengan 2 (dua) tanggungan adalah orang pribadi pengusaha konstruksi yang juga rnerniliki toko material "Cakar Beton". Selain usaha tersebut, Hari Nugroho juga aktif memberikan jasa konsultansi kepada klien yang mernbutuhkan sarannya. .Jumlah seluruh penghasilan yang diterirna oleh Hari Nugroho pacta.tahun2013 diketahui sebagai berikut:
a. Penjualan bruto dari toko material "Cakar Beton" Rp.3.500.000.000,00
b. Nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi (termasuk pemakaian material dari toko "Cakar Beton") Rp900.000.000,00.
c. Jasa konsultansi sebesar Rp500.000.000,00
c. Jasa konsultansi sebesar Rp500.000.000,00
Total peredaran bruto Hari Nugroho pada tahun 2013 adalah sebesar Rp4.900.000.000,00
Untuk menentukan PPh dari usaha toko material "Cakar Beton" eli tahun 2014 dikenai tarif. umum atau tarif yang bersifat final, adalah berdasarkan peredaran bruto dad usaha toko material "Calcar Beton" seja yakni sebesar Rp3.500.000.000,00. Sedangkan peredaran bruto dari jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa konsultan tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan konstruksi dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan Peraturan Pernerintah tersendiri dan jasa konsultansi termasuk dalarn lingkup jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Kewajiban pembayaran PPh Hari Nugroho di tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. PPh sebesar 1% bersifat final dari peredaran bruto usaha toko material "Cakar Beton", untuk setiap bulannya;
b. PPh dari usaha jasa konstruksi, yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri; dan
c. Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d. Desember), atas penghasilan dari jasa konsultasi.
Misalkan biaya dari jasa konsultasi di tahun 2013 sebesar Rp 169.625.000,00 dan PPh yang telah dipotong/dipungut pihak lain di tahun 2013 sebesar Rp 14.750.000,00, maka kewajiban angsuran
PPh Pasal 25 di tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan bruto jasa konsultasi tahun 2013 Rp 500.000.000,00
Biaya kegiatan jasa konsultasi tahun 2013 Rp 169.625.000,00
PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak jasa konsultasi Rp 300.000.000,00
PPh terutang jasa konsultasi Rp 38.750.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 14.750.000,00
PPh terutang Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 atas jasa konsultasi Rp 2.000.000,00
(1/12 x Rp 24.000.000,00)
CONTOH #4
CV Abadi Mebelindo bergerak di bidang usaha industri furnitur terdaftar sebagai Wajib Pajak badan di KPP C sejak tahun 2011. Berdasarkan pembukuannya pada tahun 2012 memiliki peredaran bruto sebesar Rp
390.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah).
Dengan demikian tarif PPh yang bersifat final yang dikenakan terhadap penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Abadi Mebelindo mulai bulan Juli 2013 adalah sebesar 1% (satu persen).
Pada bulan Juli 2013, CV Abadi Mebelindo memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 20.000.000,00 (duapuluh juta rupiah) maka paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2013 CV Abadi Mebelindo wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
PPh = 1% x Rp 20.000.000,00
= Rp 200.000,00
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo penyetoran, dan pelaporan pajak:
a. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final sebesar Rp 200.000,00 pada tanggal 15 Agustus 2013 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo menyetor sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran
dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tanggal 15 Agustus 2013.
b. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final sebesar Rp 200.000,00 pada tanggal 22 Agustus 2013 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo menyetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran
(terlambat melakukan penyetoran) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tanggal 22 Agustus 2013.
Penyetoran tanggal 22 Agustus yang dilakukan oleh CV Abadi Mebelindo yang sekaligus merupakan tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tidak termasuk sebagai Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat disampaikan karena kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014 sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2).
Pada bulan November 2013 SD Negeri 03 Jakarta membeli kursi dan meja dari CV Abadi Mebelindo sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas pembelian tersebut Bendahara SD Negeri 03 Jakarta melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) x Rp 10.000.000,00 = Rp 150.000,00. Namun demikian, jika CV Abadi Mebelindo telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh dari KPP C, atas pembelian tersebut Bendahara SD Negeri 03 Jakarta tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22
CONTOH #5
PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan tahun
buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2013 PT Andalan masih terus melakukan kegiatan
investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan kegiatan operasi secara komersial.
Pada tanggal 1 November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan.
Sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri ini, maka untuk Tahun Pajak 2013, PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial melewati Tahun Pajak yang bersangkutan maka sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2), sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014, Wajib Pajak
masih dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2014 (satu tahun sejakmulai beroperasi komersial) telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka mulai Tahun Pajak 2015 PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2014 tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka pengenaan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2015 memperhatikan peredaran bruto Januari sampai dengan Desember 2014.
Catatan:
Biasanya, perusahaan yang baru berdiri belum menghasilkan laba. Mungkin "kebiasaan" ini menjadi alasan kenapa Wajib Pajak yang belum "genap setahun beroperasi" dikecualikan dari PP 46/2013 walaupun omsetnya telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Dikecualikan dengan asumsi mengalami kerugian maka tidak ada PPh yang wajib dibayar.
CONTOH #6
Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan mobil bekas yang memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha sehingga Heri Kurnia termasuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu. Peredaran bruto usaha Tahun Pajak 2013 adalah sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) sehingga pada Tahun Pajak 2014 Heri Kurnia dikenai PPh yang bersifat final.
Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 Heri Kurnia dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan Heri Kurnia wajib menyetorkan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25, sesuai ketentuan angsuran bagi orang pribadi pengusaha tertentu.
Pada bulan Januari 2015 peredaran bruto dari usaha Heri Kurnia adalah sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari 2015 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 25 = 0,75% x Rp 400.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2015 adalah 0,75% dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan
Catatan:
tarif 0,75% adalah tarif PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)
CONTOH #7
Pada Tahun Pajak 2014 Wajib Pajak PT Pandiro Anugerah dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Menteri ini. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 PT Pandiro Anugerah dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada bulan Januari 2015 seluruh peredaran bruto PT Pandiro Anugerah adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain (bukan PPh final) adalah sebesar Rp 51.000.000,00 (lima puluh satu juta rupiah).
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2015 adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto sebulan Rp 200.000.000,00
Biaya-biaya Rp 150.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00
Penghasilan neto sebulan disetahunkan Rp 600.000.000,00
PPh terutang (12,5% x Rp 600.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 51.000.000,00
PPh kurang bayar Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 2.000.000,00
1/12 x Rp 24.000.000,00)
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2015 adalah Rp2.000.000,00.
0 comments:
Posting Komentar