Ada satu lagi fasilitas perpajakan yang diberikan oleh DJP yang berlaku sejak 1 Januari 2014. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 bahwa persyaratan tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan dipermudah. Dengan kelonggaran persyaratan ini, DJP berharap akan mengurangi pemeriksaan rutin yang dapat menyita sekitar 70% tenaga fungsional pemeriksa. Sejak 2014 diharapkan DJP akan lebih banyak melakukan pemeriksaan khusus kepada Wajib Pajak yang jarang atau belum pernah dilakukan pemeriksaan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, Dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Ada perbedaan mendasar antara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 dibandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007. Diantaranya bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007dan turunannya memberikan pilihan kepada Wajib Pajak untuk restitusi melalui Pasal 17B UU KUP atau pengembalian pendahuluan sesuai ketentuan Pasal 17D UU KUP.
Sebelumnya, DJP seperti "tidak ikhlas" atau terkesan setengah-setengah memberikan fasilitas pengembalian pendahukuan. Faktanya banyak pemeriksaan restitusi yang dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak yang disebabkan SPT Wajib Pajak lebih bayar dengan nominal kecil. Dari fungsional pemeriksa pajak banyak yang usulkan agar pemeriksaan yang lebih bayar kecil-kecil tidak perlu dipemeriksa karena ongkos pemeriksaan tentu akan lebih besar. Ongkos pemeriksaan yang dimaksud selain biaya perjalanan untuk ke Wajib Pajak yang ditanggung negara, juga waktu yang dipergunakan oleh pemeriksa.
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak meliputi:
- Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
- Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
- Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
- Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Tetapi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 ternyata menghendaki ada saringan lanjutan selain "treshhold" diatas. yaitu analisis risiko. Pada intinya analisis risiko bertujuan bahwa tidak semua Wajib Pajak memiliki risiko yang sama. Ada Wajib Pajak yang memang "nakal" dan sengaja mencari celah hukum. Kemudian memanfaatkan celah tersebut. Tetapi tentu saja pada kebanyakan Wajib Pajak termasuk golongan Wajib Pajak biasa-biasa saja yang walaupun tidak patuh tetapi ketidakpatuhan tersebut terjadi karena faktor ketidaktahuan.
Analisis risiko yang dimaksud di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 akan lebih enak jika kita menggunakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang diteken tanggal 14 Maret 2014. Berikut analisis risiko yang dimaksud:
Analisis Risiko terhadap Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terkait SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Analisis risiko terhadap Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi persyaratan tertentu yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar berupa:
[1.] kepatuhan penyampaian SPT;
[2.] kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
[3.] kebenaran SPT untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelumnya.
Kepatuhan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada [1.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 1 (satu) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Tahun Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Kepatuhan dalam melunasi utang pajak sebagaimana dimaksud pada [2.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak atau Wajib Pajak memiliki utang pajak namun terhadap utang pajak tersebut belum diterbitkan Surat Paksa. Utang pajak dimaksud hanya terbatas pada utang pajak yang diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Kebenaran SPT untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelumnya sebagaimana dimaksud pada [3.] diatas merupakan kebenaran formal dan terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dan lampiran-lampirannya, untuk 1 (satu) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Tahun Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang dibuktikan dengan telah diterbitkannya tanda terima SPT.
Saya tambahkan terkait "kebenaran SPT". Pada saat diskusi masalah konsep analisis risiko (maksudnya rapat pembahasan konsep surat edaran) mengemuka bahwa sebenarnya jika kita "berkacamata" UU KUP maka semua SPT yang diterima oleh KPP harus dianggap benar! SPT yang diterima oleh KPP tetap dianggap benar sampai:
a. Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (7) UU KUP dan diberitahukan kepada Wajib Pajak, atau
b. diterbitkan surat ketetapan pajak yang didalamnya dilakukan koreksi fiskal.
Analisis Risiko terhadap Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terkait SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
Analisis risiko terhadap Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar berupa:
[a.] kepatuhan penyampaian SPT;
[b.] kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
[c.] kebenaran SPT untuk Masa Pajak sebelum-sebelumnya.
Kepatuhan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada [a.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Kepatuhan dalam melunasi utang pajak sebagaimana dimaksud pada [b.] diatas terpenuhi dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak atau Wajib Pajak memiliki utang pajak namun terhadap utang pajak tersebut belum diterbitkan Surat Paksa. Utang pajak sebagaimana dimaksud [b.] diatas terbatas pada utang pajak yang diadministrasikan pada KPP tempat Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Kebenaran SPT untuk Masa Pajak sebelum-sebelumnya sebagaimana dimaksud pada [c.] diatas merupakan kebenaran formal dan terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dan lampiran-lampirannya untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang dibuktikan dengan telah diterbitkannya Bukti Penerimaan Surat (BPS).
Selain itu, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 mengingatkan kita agar memperhatikan ketentuan lain yang menyebabkan tidak boleh restitusi dengan mekanisme 17D. Dikecualikan dari permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu terhadap:
>> SPT lebih bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP;
>> SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang disampaikan oleh PKP selain PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) Undang-Undang PPN;
>> SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar yang disampaikan oleh PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN;
>> SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang disampaikan oleh Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat dan perubahannya.
semoga memudahkan
salaam
0 comments:
Posting Komentar