Pasal 18 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000 :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Selanjutnya, yang dimaksud hubungan istimewa diatur lebih lanjut di Pasal 18 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000 :
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
Walaupun UU perubahan Keempat UU PPh 1984 sudah disetujui oleh DPR, tetapi sampai tulisan ini dibuat belum juga dipublikasikan. Dan sampai sekarang nomor UU-nya juga belum tahu. Jadi sementara saya pakai UU No. 17 Tahun 2000.
Saya pikir aturan hubungan istimewa tidak banyak berubah karena pada intinya adanya kontrol "seseorang" atas "orang" lain. Orang lain itu bisa satu atau lebih. Dan yang dimaksud oleh seseorang bisa orang pribadi atau perusahaan. Dalam bahasa lain, hubungan istimewa sering disebut afiliasi, intra grup, atau grup saja :D
Penguasaan seseorang atas orang lain bisa menyebabkan penentuan harga yang tidak wajar (non arm's length price) baik penjualan, pembelian ataupun pembebanan biaya seperti : pemberian jasa-jasa, pemberian hak paten dan pengetahuan tertentu, pemberian pinjaman dan lain-lain. Karena itu tidak heran banyak Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang terus merugi [sehingga tidak pernah bayar PPh] tetapi terus dipertahankan di Indonesia. Kasus seperti ini [kabarnya] banyak.
Karena itu, sebenarnya UU PPh kita telah memberikan kewenangan ke DJP untuk melakukan penghitungan kembali PPh terutang bagi merekan yang memiliki hubungan istimewa. Saya salin penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000:
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Inilah catatan pertama tentang transfer pricing, yaitu kantor pajak dapat melakukan koreksi harga atau biaya jika memang adanya hubungan istimewa. Artinya, hubungan istimewa merupakan gerbang ke transfer pricing.
Salaam
0 comments:
Posting Komentar