Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984
Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal 2A ayat (3)dan ayat (4) UU PPh 1984 :
(3) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
(4) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
Penjelasan :
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Catatan :
Mengapa harus ada “pemisahan” antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri? Karena ada perbedaan kewajiban! Saya ringkaskan perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri dari memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh 1984 sebagai berikut;
1. Subjek pajak dalam negeri : dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia [biasa disebut world wide income atau comprehensive liability to tax atau full tax liability]; dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum; dan wajib menyampaikan SPT Tahunan.
2. Subjek pajak luar negeri : dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia; dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan atau flat; dan TIDAK wajib menyampaikan SPT Tahunan.
Karena UU PPh 1984 menganut residence prinsiple, maka tempat tinggal dan “kehadiran fisik” menjadi persyaratan. Pada catatan tentang subjek pajak dalam negeri, saya menyebutkan bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki dokumen KTP maka yang bersangkutan merupakan subjek pajak dalam negeri. Tetapi ada kalanya dokumen formalitas tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya. Pada contoh yang saya berikan, bisa jadi orang yang memiliki rumah dan KTP di Jakarta tetapi tinggal di Singapura. Karena itu perlu pengujian lebih lanjut.
Saya kutip dua paragrap memori penjelasan Pasal 2 ayat (6) UU PPh 1984 tentang tempat tinggal :
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Saya ulangi : penentuan tempat tinggal tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Praktek yang terjadi dilapangan sangat mungkin seseorang yang secara formal bertempat tinggal di Indonesia tetapi pada kenyataannya orang tersebut “berada” di luar negeri. Jadi, dimana tempat tinggalnya?
Jawaban saya kembali ke metode 183 hari. Jika seseorang berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di luar negeri. Sebaliknya jika seseorang berada di dalam negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di dalam negeri. “Tempat” yang dimaksud bisa rumah milik, rumah sewa, apartemen, atau tempat tinggal lainnya.
Walaupun demikian, sebenarnya sudah ada semacam “konvensi” diantara administrator pajak di dunia bahwa jika terjadi dual residence [orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan] maka penyelesaiannya dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya. Kriteria dimaksud adalah
[1]. Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak dan keluarga tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;
[2]. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada. Untuk mengukur pusat kepentingan seseorang, dapat dipakai ukuran jumlah harta atau jumlah penghasilan, mana yang lebih besar;
[3]. Kebiasaan berdiam (habitual abode). Pengujian ini berdasarkan “di negara mana” seseorang lebih banyak berada. Ini berbeda dengan metode 183 hari karena lebih banyak di sini bisa jadi kurang dari 183 hari. Contoh: 100 hari tentu lebih banyak daripada 95 hari;
[4]. Status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;
[5]. Prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure atau MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.
Nah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Luar Negeri silakan mengukur sendiri, kira-kira penduduk mana. Penduduk maksudnya penduduk untuk kepentingan perpajakan. Walaupun demikian, pengujian diatas adalah pengujian pada umumnya. Pengujian yang lebih pasti tentu harus mengacu ke tax treaty karena tidak semua tax treaty yang ditandatangani oleh Indonesia mengadopsi pengujian diatas. Di tax treaty masalah “penduduk” biasanya di tempatkan di Pasal 4 tentang Fiscal Residence. Nah cari deh di situh apakah kita masuk penduduk negara A atau penduduk negara B.
Kedudukan treaty lebih tinggi daripada undang-undang. Treaty adalah perjanjian antar negara dan yang dimaksud tax treaty biasanya perjanjian bilateral atau perjanjian antara dua negara. Karena tax treaty mengatur hal-hal yang lebih khusus, maka tax treaty “menganulir” [mengalahkan] ketentuang-ketentuan di undang-undang. Ketentuan khusus mengalahkan ketentuan umum.
Untuk dapat menggunakan tax treaty kita harus menggunakan surat keterangan domisili (SKD) atau Certificate of Residency. Seperti KTP di Indonesia, certificate of residency (COR) merupakan bukti “kependudukan” seseorang untuk kepentingan perpajakan. Karena itu, menurut saya, COR lebih kuat sebagai bukti.
Walaupun begitu, kemungkinan untuk penduduk ganda [dual residence] masih mungkin. Misal si A memiliki COR di Singapura tetapi KPP bilang si A wajib NPWP. Jika sudah begini, sebaiknya serahkan ke pejabat yang berwenang (Competent Authority) dan meminta dilakuan pengujian terakhir yaitu (mutual agreement procedure atau MAP)!
Contoh Surat Keterangan Domisili [diteken oleh pejabat yang berwenang] yang dikeluarkan oleh USA [diambil dari SE-68/PJ/2008]
salaam
0 comments:
Posting Komentar